sebuah wacana
PEMFOSILAN PEMIKIRAN BARAT
dengan Just-in-Time
Taufan Yanuar
Teknik Industri, Institut Teknologi Sepuluh
Nopember
24 Oktober
2003
PENDAHULUAN
Seorang
pemuda berumur 28 tahun pada tahun 1813 bernama Baron Drais membuat sepeda kayu
yang sangat sederhana seperti gambar dibawah ini. Dengan menggunakan sepeda
kayu ini, manusia dapat menghemat waktu hampir empat kali lebih cepat daripada
berjalan kaki.
gambar 1. sepeda rancangan Baron Drais
Kemudian pada tahun
1872, August Nicolaus Otto seorang ahli mekanik dan Gottlieb Daimler bekerja
sama untuk membuat sepeda motor. Dan pada tahun 1885, tetangga dari Daimler,
yaitu Karl Benz yang usianya 10 tahun lebih muda, ternyata berhasil menciptakan
kendaraan roda tiga yang lebih cepat.
Gambar a) Kendaraan ciptaan
Daimler
b) Kendaraan ciptaan Benz
Diawali persaingan
antara Daimler dengan Benz dan kemudian kedua bersatu pada tahun 1890 dan
membentuk perusahaan patungan dengan nama Daimler-Benz, yang sekarang bernama
Mercedez Benz.
Kemudian banyak
sekali bermunculan industri-industri otomotif yang terkenal. Namun kebanyakan
mereka masih berkutat di teknologi otomotifnya sendiri. Bisa dikatakan,
penyempurnaan masih belum “disentuh”.
PEMIKIRAN BARAT
Tahun 1776, Adam
Smith melalui the Wealth of Nation,
menyatakan peran pentingnya spesialisasi dalam bekerja. Hal ini juga dibuktikan
yaitu apabila seorang pekerja dapat menghasilkan 1000 pin sehari dengan bekerja
sendiri, maka apabila 10 orang bekerja sama dengan spesialisasi akan
menghasilkan 48.000 pin seharinya (Hicks, 1994).
Sebagai penyegaran,
masih ingat tidak, salah satu tokoh Industri yang kita pelajari waktu mendapat
mata kuliah Pengantar Teknik Industri, yaitu F. W. Taylor (1895) dengan
memunculkan metoda Scientific Management.
Seiring dengan semakin pesatnya Industri Barat setelah revolusi industri.
Pemikiran barat saat
itu didasari pada oleh budaya barat yang berciri menonjol dalam kompetisi,
individualis dan peran rasional otak kiri manusia. Selain itu, juga sebagai
pendorong suksesnya penyelaman ruang angkasa mulai tahun 1970 dan komunikasi
komputer tahun 1980 adalah industri barat menganut teori Y, yang beranggapan
manusia akan bekerja lebih giat dengan adanya motivasi yang cukup sehingga
dapat meningkatkan produktivitas.
Layaknya yang kita
pelajari dibangku kuliah, dalam melakukan industri, sebelumnya diadakan perancangan
dan perencanaan yang rapi meliputi layout, mesin, aliran bahan dan prosedur
kerja. Manajemen industri Barat yang rapi ini disebut dengan Design Based Industry. Meskipun rapi
namun manajemen Barat ini cenderung kaku karena tidak dirancang untuk
mengadaptasi perubahan lingkungan yang mungkin timbul. Kemudian juga ada MRP (Material Requirement Planning), MRP II (Manufacturing Resource Planning) hingga campur
tangan komputer melalui CIM (Computer
Integrated Manufacturing).
Kemudian sekitar
tahun 1910, sistem Ford dengan jalan bahan baku diolah dan dibawa dengan conveyor menjadi suku cadang. Kemudian
pada asembly, komponen-komponen
tersebut dirakit dengan kecepatan tetap hingga akhirnya menjadi mobil jadi satu
persatu.
Kesuksesan industri
Barat juga dialami oleh yang lainnya yang juga menggunakan sistem Ford. Namun
dibalik kesuksesan tersebut ternyata, banyak PR yang tersisa,diantaranya yaitu produk
Barat terkenal mahal, boros, rumit sehingga banyak complain.
INDUSTRI TIMUR
Setelah
berakhirnya perang dunia II, Jepang menderita kekalahan dengan terpuruknya perekonomian
Jepang. Namun dengan motivasi harga diri dan semangat mempertahankan hidup,
bangsa Jepang berusaha mengejar ketertinggalan. Sehingga sekitar tahun 1950,
Jepang dapat dikatakan telah pulih kembali.
Dimulai
dengan mengundang pakar dari Amerika yaitu J.M Juran dan nama yang tidak begitu
asing bagi kita yaitu W. E. Deming, yang ahli dibidang Quality Control sehingga
industri Barat mencapai sukses. Kemudian mulai tahun 1952, industri Jepang
seperti Nissan, Mitsubishi, Hino dan Isuzu bekerja sama memproduksi kendaraan
dibawah lisensi Austin, Rootes, Renault dan Willys. Setelah 8 tahun mampu
meniru, kemudian mulai tahun 1960 industri tersebut telah menggunakan 100%
komponen lokal.
Selama
40 tahun, industri Jepang terutama di bidang otomotif telah merajai dunia, bagaimana
hal ini terjadi? Hal tersebut karena Jepang menggunakan manajemen Barat yang
tidak digunakan mentah-mentah, tapi pemakaiannya dipoles sesuai dengan budaya
Timur asli.
Misalnya
budaya Timur yang senang ngumpul,
diterapkan untuk mengatasi kekakuan manajemen Barat, sehingga Design Based Industry-nya Barat, diaplikasikan oleh industri Jepang dengan melakukan
penyempurnaan yang berkesinambungan dengan melibatkan semua orang secara rutin
dan terjadwal, yang kemudian disebut dengan Continually-Improved-Based
Industry.
Terdapat
beberapa konsep yang menyebabkan industri di Jepang berkembang pesat, diantaranya
yaitu;
1. Prinsip 5 R
Yaitu ringkas, rapi, resik, rawat dan rajin. Banyak sekali yang memandang
sepele hal ini, namun apabila dilaksanakan dengan konsisten dan disiplin akan
terasa hasilnya yang menajubkan.
2. KAIZEN
Merupakan filosofi
kerja yang diturunkan dari hasil sistem pendidikan dan interaksi sosial Jepang
yang mengutamakan keharmonisan dan kegiatan bersama.
3. Produksi berorientasi Proses
Manajemen ini
menggunakan siklus SDCA, Standardize-Do-Chek-Action. Sehingga apabila terdapat
kesalahan akan diperbaiki dan diikuti dengan pembuatan standard baru yang
semakin lama akan semakin sempurna.
4. Berbicara dengan Data
Budaya Jepang yang
menonjol adalah mengidentifikasi masalah, mengumpulkan, menganalisis data dan
penyelesaiannya. Beberapa toolnya yang
tidak asing bagi kita adalah seven tool
(diagram Pareto, Ishikawa, sebar, histogram, peta kendali, grafik dan formulir
pemeriksaan)
Dan
masih banyak lagi konsep Jepang yang diadopsi dari Barat. Salah satu yang
lainnya adalah Just-in-Time yang dipopulerkan oleh Toyota. Berikut sekilas
mengenai Just-in-Time.
JUST-IN-TIME
Just-in-Time
merupakan suatu sistem produksi dengan menggunakan Pull System, yaitu material dan
komponen ditarik dari belakang pabrik ke arah depan hingga menjadi produk jadi.
Berbeda dengan sistem Barat yang pada umumnya menganut Push System, yaitu material
dan komponen dibuat dan setelah itu dikirim ke tempat proses selanjutnya
(terkadang sebelumnya diletakkan di suatu tempat sebagai persediaan),
pendorongan ini dilakukan berdasarkan jadwal.
Sistem produksi
Jepang ini, mempunyai filosofi dasar memperkecil kemubaziran (Eliminate of
Waste). Bentuk-bentuk kemubaziran tersebut antara lain;
1. Waktu
Misalnya ada pekerja yang
menganggur, mesin yang menganggur, waktu material handling yang tidak efisien,
jadwal produksi yang tidak ditepati, keterlambatan material, botleneck dan
lain-lain.
2. Material
Terlalu banyak scrap, banyak
terjadi kerusakan, material yang usang, material yang hilang dan lain-lain.
3. Manajemen
Terlalu banyak karyawan, mis-informasi
antar departemen, overlaping penugasan dan lain-lain.
Dikarenakan di Jepang, resource
sangatlah terbatas, maka prinsip efisiensi, efektifitas dan produktivitas perlu
ditegakkan. Maka strategi yang dilaksanakan adalah;
1. Hanya memproduksi jenis produk yang diperlukan
2. Hanya memproduksi produk sejumlah yang dibutuhkan
3. Hanya memproduksi produk pada saat diperlukan
Tujuan dari sistem
produksi Just-in-Time adalah memproduksi dengan kualitas (Quality) terbaik, ongkos (Cost)
termurah dan pengiriman (Delivery)
pada saat yang tepat, disingkat QCD. Kiat agar tujuan tersebut dapat berjalan
dengan baik adalah;
1. Pengendalian
kuantitas
Dilakukan dengan
sistem informasi yang baik, yang disebut dengan Kanban, termasuk dengan suplier
dan konsumen yang pasti dan tepat waktu. Sehingga dengan adanya komunikasi yang
baik tersebut diharapkan dapat mengurangi inventory
order lead time, yang ujung-ujungnya konsep zero inventory dapat tercapai.
2. Pengendalian kualitas
Untuk mencapai zero defect, maka departemen
pengendalian kualitas (QC) ditiadakan, yang ada adalah Quality Assurance,
sehingga pekerja diberi kewenangan untuk tidak memberi hasil produk yang tidak
baik ke proses selanjutnya.
3. Memanusiakan manusia
Terdapat tiga cara,
dalam melaksanakannya, yaitu, Otonomi,
Flexibility dan Creativity. Contoh flexibility
adalah memungkinkan pekerja untuk melakukan subtitusi kerja apabila terjadi
kejenuhan dalam bekerja. Keuntungan lainnya yang didapat adalah koordinasi yang
baik karena setiap karyawan akan mengerti keterkaitan-nya dengan tugas-tugas
rekan yang lain. Sehingga dengan demikian akan dimungkinakan munculnya creativity dari karyawan yang dapat
disalurkan melalui brainstorming.
Hal Penting dalam Penerapan
Just-in-Time di Toyota
1. ANDON
Ketika operasi
berjalan normal, maka lampu akan menyala hijau. Ketika pekerja membutuhkan
bantuan karena sesuatu pada line kerja, maka lampu akan menyala kuning. Jika
line kerja berhenti dan membutuhkan perbaikan dari masalah maka lampu akan
menyala merah.
2. AUTONOMATION
(AUTONOmous operATION)
Otomasi dengan sentuhan
manusia atau mentransfer kecerdasan manusia kepada mesin.
3. BAKA-YOKE (Fool
Proofing)
Inovasi harus dibuat
dengan peralatan yang dirancang dengan mencegah kesalahan. Konsep tersebut
diterjemahkan sebagai berikut;
-
Jika terjadi
kesalahan pada pekerja, maka material tidak dapat digunakan dengan tool.
-
Jika material salah,
maka mesin tidak akan berjalan.
-
Jika pekerja
melakukan kesalahan, maka mesin tidak akan melakukan proses.
-
Jika terdapat langkah
yang terlewat, maka proses selanjutnya tidak akan dimulai
Contoh sederhana dari
penerapan BAKA-YOKE adalah, apabila kita memasukkan disket terbalik, maka
disket tersebut tidak dapat masuk ke dalam CPU.
gambar 2. pemasukan disket yang
terbalik
4. REAL CAUSE
Didalam penyebab dari
suatu masalah, penyebab sebenarnya adalah tersembunyi.
5. VISUAL CONTROL (Management
of Sight)
Berkaitan dengan
otonomi atau kewenangan pekerja untuk menyatakan produk yang dihasilkan cacat
atau tidak.
Beberapa perbedaan
Just-in-Time dengan pemikiran Barat yaitu, di industri Barat, digunakan safety
stock untuk beberapa tujuan, namun dalam Just-in-Time, idealnya adalah tidak
ada buffer stock, sehingga jika terdapat kesalahan, operasi akan berhenti total
sehingga dapat diketahui dengan cepat akar kesalahan dan juga semakin cepat
pula penyelesaian permasalahan tersebut (Marc J. Schiederjans, 1993).
Ilustrasi
Berikut merupakan tulisan dari Kristianto Jahja (KAIZEN Institute) yang menceritakan pengalamannya
mengenai penerapan Just-in-Time.
Pada sekitar 1994,
saya bertugas di sebuah pabrik komponen di kota kecil Bissingen (dekat
Stutgart) di Jerman, sebuah projek Kaizen dari sebuah jalur produksi yang
menghasilkan produk penghapus kaca (wiper). Ini adalah perubahan cara
berproduksi dari aliran produk yang "jumbled" menjadi aliran produksi mengikuti
konfigurasi "U". Sebelumnya ada berbagai komponen yang dibuat
di mesin-mesin terpisah untuk kemudian dirakit pada satu jalur. Seperti
umumnya industri Jerman yang punya standard bagus, wadah komponen pun harus
mengikuti standard, komponen harus ditempatkan ada palet keranjang yang dikenal
dengan DB-standard (Deutsche Bahn, kereta api). Tentu jumlah per batchnya
besar sekali (mungkin lebih dari 2000), akibatnya perakitan akhir
terdapat banyak palet yang menyita tempat kerja. Kami melakukan bedah
proses, di mana mesin-mesin yang saling berhubungan itu dilakukan re-layout
diurutkan mengikuti aliran produk. Konfigurasi aliran itupun diatur
dengan bentuk "U", Lima proses dengan mesin-mesin yang tidak
terlampau besar (seperti mesin punch, press hidraulis, notcher dsb.)
digabungkan dalam satu sel manufaktur. Satu orang karyawan ditugaskan
untuk melakukan semua siklus kerja secara berurutan, sehingga dia harus
berjalan dari satu mesin ke mesin berikutnya, dan produk diselesaikan satu demi satu, langsung
sampai jadi (one piece flow). Jelas ini harus dilakukan dengan sikap
berdiri. Dengan cara ini kami menghapuskan banyak pekerjaan yang tak
perlu terutama pada segi material handling dan barang setengah jadi, aliran
produk pun menjadi terkendali disesuaikan dengan kebutuhan/permintaan konsumen. Ini adalah
JIT, yang intinya bukan bukan sekadar mengurangi stock saja, tapi
membenahi cara berproduksi (produktivitas per karyawan meningkat sekitar
48%).
Berikut
juga merupakan cerita mengenai penerapan Just-in-Time (yang disebut dengan MAN,
Material as Needed) pada motor gede Harley Davidson di Amerika (sutrisno, 2002).
Pukulan balasan dari
kemajuan industri Jepang yang mendasari diri dengan filosofi industri
Just-In-Time sangat berat dirasakan oleh industri Amerika pada tahun 1980-an.
Harley Davidson yang telah memasuki usia 80 tahun, antara tahun 1981-82
menderita rugi demikian parah karena datangnya empat pesaing industri Jepang,
yaitu Honda, Yamaha, Suzuki dan Kawasaki. Kerugian ini akibat dari kekecewaan
pelanggan sebelumnya pada produk Harley Davidson yang dianggap terlalu mahal,
dan juga pelayanan purna jual yang dikenal tidak memuaskan. Penerapan JIT membuat perusahaan ini sehat
kembali. Antara tahun 1982-86 terjadi perbaikan kinerja, produktivitas karyawan
naik 50 %, pengerjaan ulang turun 80 %, biaya garansi turun 46 %. Perusahaan
sepeda motor ini mulai untung kembali sejak 1983 (Dilworth, 1989). Pada
perusahaan-perusahaan yang lain terjadi pula perubahan yang spektakuler.
Perubahan-perubahan tersebut meliputi, average lead time reduction 90%, inventory
turun 35 - 79%, change-over time turun 75-94%, harga material yang dibeli turun
6-11%, cost of quality turun 26-63%.
Masih banyak lagi penggunaan Pull
System di berbagai perusahaan, selain Toyota dengan Just-in-Time-nya, perusahaan lain adalah Hewlett Packard dengan Stockless Production-nya, Westinghouse
dengan MIPS, Minimum Inventory
Production System-nya, atau juga perusahaan lainnya dengan nama Lean Manufacturing dan sebagainya.
SUMMARY
Tujuan dari penggunaan Just-in-Time adalah melakukan perbaikan bersama-sama
secara terus-menerus sehingga akan didapatkan pengurangan beberapa macam
pemborosan. Jika dibandingkan dengan Push System, maka akan didapatkan
pemborosan karena over produksi. Meskipun kemungkinan permintaan yang
didapatkan pertama kali sedikit (kelemahan Just-in-Time adalah ketiadaan
demand), namun hasil yang didapat adalah pengurangan inventory sekaligus
peningkatan kualitas. Less is more.
Referensi:
Philip E Hicks (1994) Industrial Engineering and Management: A New Perspective, Mc Graw
Hill, New York
Marc J. Schniederjans (1993) Just in Time Management, Allyn & Bacon
Sutrisno Eddy, ( Tokoh-Tokoh
Industri, Intimedia&Ladang Pustaka, Jakarta
Dick Locke (1996) Global Supply Management, Mc Graw Hill,
USA
Dr. Ir. Sutrisno MSME (2002) Industri Manufaktur Amerika, Jepang, Korea & Menggagas Pengembangan
Industri & Teknologi Indonesia
Taiichi Ohno
(1988) Toyota Production System,
Productivity Press, Portland, Oregon
Norman Bodek, Just
In Time, Toyota
Production System & Lean Manufacturing, http://www.strategosinc.com/just_in_time.htm