Aku Tidak Pernah Betul-betul Pulang
--M.AAN MANSYUR--
Aku tidak pernah betul-betul pulang. Tidak bisa. Ke semua tempat kuseret tubuh sendiri sebagai petualang tersesat-bahkan di negeri jauh tempat aku lahir dan seorang perempuan mengajariku tersenyum kepada diri sendiri.
Tidak pernah ada rumah. Tidak ada. Cuma ada mimpi buruk yang sekali waktu terburu-buru membangunkan dan meminta aku pergi. Membelahku. Mengubah ingatan jadi hukuman. Meletakkan jiwaku di antara keinginan dan keengganan kembali, diantara perkara-perkara yang mungkin dan tidak mungkin selesai.
Kulihat diriku tertimbun reruntuhan masa remajaku di kota yang mencintai para pembenci. Kulihat ayah di pekarangan memasukan serpihan-serpihan kaca jendela ke saku celana. Ibu tidak ada di dapur dan di mana-mana. Tetapi, dijalan-jalan, negara melintas sebagai perayaan ringkas dan huru-hara yang tidak pernah tuntas.
Setiap hari tumbuh retakan baru di tubuhku. Kuterima seluruh seolah kelak terbit matahari lain dari sana. Ya, Ribuan Matahari.
Memandang Dunia Dari Jendela Kafe
Karya: M.Aan Mansyur (buku tidak ada new York hari ini)
Langit mengenakan jepit rambutmu dimana-mana
Kilau lampu-lampu malam meminjam warna-warni
Dan Bahasa dari matamu. Pintu-pintu took masih terbuka
Menggoda para pelancong yang datang
Dari negeri miskin di seberang benua
Aku memandang dunia dari balik jendela kafe
Tiada siapapun di sini
Sudah bertahun-tahun di sini
Dan di sana bertukar makna
Mabuk panjang selepas ciuman perpisahan dan penerbangan berjam-jam
Rindu, kau tahu, tidak mengenal waktu rehat
Bagai pegawai toko yang segenap hidupnya adalah hutang
Yang harus di bayar besok siang bagai satu negeri
Sedang berjuang menebus jiwanya dari tangan orang-orang asing
Apabila aku lelah marah kepada dunia dan diri sendiri
Kesedihan jadi sumur yang tidak sanggup ku sentuh dasarnya
Ku sandarkan hidup yang redup di bahu Bahasa ibu
Aku memandang dunia dari balik kaca jendela kafe
Tidak Ada New York Hari Ini
M. Aan Mansyur
Tidak ada New York hari ini.
Tidak ada New York kemarin.
Aku sendiri dan tidak berada di sini.
Semua orang adalah orang lain.
Bahasa ibu adalah kamar tidurku.
Ku peluk tubuh sendiri.
Dan cinta—kau tak ingin aku mematikan mata lampu.
Jendela terbuka dan masa lampau memasukiku sebagai angin.
Meriang. Meriang. Aku meriang.
Kau yang panas di kening. Kau yang dingin di kenang
Hari ini tidak pernah ada. Kemarin tidak nyata.
Aku sendiri dan tidak menulis puisi ini. Semua kata tubuh mati semata.
Puisi adalah museum yang lengang. Masa remaja dan negeri jauh. Jatuh dan patah. Foto-foto hitam
putih. Aroma kemeja ayah dan senyum perempuan yang tidak membiarkanku merindukan senyum lain.
Tidak ada pengunjung. Tidak ada pengunjung.
Dibalik jendela, langit sedang mendung.
Tidak ada puisi hari ini. Tidak ada puisi kemarin.
Aku menghapus seluruh kata sebelum sempat menuliskannya.
PUKUL 4 PAGI
AAN MANSYUR
Tidak ada yang bisa diajak berbincang.
Dari jendela kau lihat bintang-bintang sudah lama tanggal.
Lampu-lampu kota bagai kalimat selamat tinggal.
Kau rasakan seseorang di kejauhan menggeliat dalam dirimu.
Kau berdoa: semoga kesedihan memperlakukan matanya dengan baik.
Kadang-kadang, kau pikir, lebih mudah mencintai semua orang daripada melupakan satu orang.
Jika ada seseorang yang terlanjur menyentuh inti jantungmu,
mereka yang datang kemudian hanya akan menemukan kemungkinan-kemungkinan.
Dirimu tidak pernah utuh.
Sementara kesunyian adalah buah yang menolak dikupas.
Jika kaucoba melepas kulitnya, hanya akan kau temukan kesunyian yang lebih besar.
Pukul 4 pagi. Kau butuh kopi segelas lagi.
No comments:
Post a Comment