Pages

Tuesday, January 5, 2021

Perjanjian Giyanti

Setelah Indonesia merdeka tahun 1945, setidaknya ada 4 perjanjian yang tidak menguntungkan Indonesia. Diantaranya Perundingan Linggarjati, Perjanjian Renville, Perjanjian Roem-Roijen dan Konferensi Meja Bundar. Sebelumnya, terdapat perjanjian yang juga kurang menguntungkan Indonesia, yaitu perjanjian Giyanti.

Berakhirnya kekuasaan Kerajaan Pajang pada tahun 1586 muncul kekuatan politik baru, yaitu Kerajaan Mataram Islam yang didirikan oleh Ki Ageng Pamanahan atau Sutawijaya atau Panembahan Senapati dengan pusat kerajaan di Kotagede, Yogyakarta. 

Mataram dipimpin oleh Sutawijaya dengan sifat pemerintahannya yang ekspansif dan mulai memproyeksasi manuver politiknya sesuai ketentuan, layanan, dan fungsi administrasi ke timur di sepanjang Bengawan Solo.

Pada 1590 menaklukkan Madiun, menaklukkan Kediri pada tahun 1591 dan Ponorogo, Jipang dan Jagaraga (utara Magetan sekarang) hingga mencapai timur sejauh Pasuruan. Sedangkan di sebelah Barat menaklukkan Cirebon dan Galuh pada tahun 1595.

Selepas raja ke-9, yaitu Raden Mas Suryaputra yang menyandang gelar Hamangkurat IV / Hamangkurat Jawi (1719-1726), harusnya yang melanjutkan tahta adalah Pangeran Arya Mangkunegara selaku putra sulung Amangkurat IV. Namun karena Arya Mangkunegara sering menentang kebijakan VOC, sehingga ia diasingkan ke Srilanka hingga meninggal dunia.

VOC lalu menaikkan putra Amangkurat IV lainnya, yakni Pangeran Prabasuyasa, sebagai penguasa Mataram selanjutnya dengan gelar Pakubuwana II (1745-1749) sebagai raja ke-10 yang kemudian memindahkan istana dari Kartasura ke Surakarta sehingga berdirilah Kasunanan Surakarta sebagai bentuk paling baru kerajaan turunan Mataram.

Kemudian untuk meneruskan tahta raja ke-11, terjadi perpecahan dan pertikaian antar-anggota keluarga istana Kasunanan Surakarta, pewaris kekuasaan wangsa Mataram, antara Susuhunan Pakubuwana II, Pangeran Mangkubumi, dan Raden Mas Said alias Pangeran Sambernyawa.

Pakubuwana II dan Pangeran Mangkubumi adalah kakak-beradik putra dari Amangkurat IV, penguasa Mataram periode 1719-1726. Sedangkan Raden Mas Said merupakan salah satu cucu Amangkurat IV, atau keponakan Pakubuwana II dan Pangeran Mangkubumi.

Raden Said mengklaim bahwa ia berhak atas takhta Mataram yang diduduki pamannya, Pakubuwana II. Ini lantaran ayah Raden Mas Said, Pangeran Arya Mangkunegara, adalah putra sulung Amangkurat IV.


Kondisi yang rumit ini dimanfaatkan oleh VOC dengan melakukan siasat devide et impera atau politik pecah belah. Pada 13 Februari 1755, bertempat di Desa Giyanti pihak VOC bertemu dengan kubu Pangeran Mangkubumi.

Hasil pertemuan tersebut kemudian membuahkan Perjanjian Giyanti sebagai kesepakatan bersama yaitu Pangeran Mangkubumi mendapat setengah dari wilayah Mataram, diakui sebagai Sultan Hamengkubuwana I dengan hak secara turun-temurun yang kemudian memunculkan kerajaan baru bernama Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. 

Wilayah Mataram pun terbagi menjadi dua, selain Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat di sebelah Barat, di sebelah timur Sungai Opak (yang melintasi daerah Prambanan sekarang) yang dikuasai oleh Sunan Pakubuwana III, dan berkedudukan di Surakarta.


Sumber :

https://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Mataram

https://id.wikipedia.org/wiki/Perjanjian_Giyanti

https://tirto.id/belanda-membelah-jawa-dengan-perjanjian-giyanti-cEpq

https://www.kompas.com/skola/read/2020/06/17/140000969/perjanjian-giyanti-memecah-kerajaan-mataram-menjadi-dua?page=all

No comments:

Post a Comment