Pada pertengahan bulan September 2021, terjadi fenomena burung pipit berjatuhan pasca hujan turun. Beberapa ahli menyebutkan bahwa kasus tersebut dapat menjadi indikator early warning atau peringatan dini adanya perubahan lingkungan.
Diduga hujan besar yang turun di wilayah tersebut membawa kandungan asam. Secara umum air hujan yang turun jika diukur pHnya yang normal di kisaran 7 yang basa lebih 7 dan yang asam kurang 7. Hujan asam memiliki kandungan pH 5 atau dibawahnya. Hujan asam dapat terjadi karena adanya pengaruh emisi gas pencemar seperti kendaraan hingga pabrik.
Namun hal ini masih perlu dilakukan pengkajian lebih lanjut secara teliti dan intensif.
Peristiwa pertama adalah saat ribuan burung berjenis pipit berjatuhan di Desa Pering, Kecamatan Blahbatuh, Gianyar, Bali pada hari Kamis tanggal 9 September 2021. Kemudian kasus serupa terjadi di Balai Kota Cirebon, pada hari Selasa tanggal 14 September 2021.
Perbedaannya antara fenomena di Bali dengan Cirebon adalah bahwa burung yang berjatuhan di Cirebon dikabarkan tidak semua dalam kondisi mati.
Dari hasil pemeriksaan sementara Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan Provinsi Jawa Barat (DKPP Jabar) berkoordinasi dengan DKKP Cirebon, Rumah Sakit Hewan Provinsi Jabar dan Balai Kesehatan Hewan dan Kemasvet di Losari Subang berdasarkan rapid test Avian Influenza dan pengujian PCR untuk flu New Castle (ND), menunjukkan hasil negatif atau tidak terpapar virus.
Perubahan iklim juga memakan korban di belahan bumi yang lain. Ribuan ikan dan udang ditemukan mati di pantai Mar Menor, Spanyol. Kematian mendadak pada bulan Agustus 2021 lalu tersebut dikarenakan adanya perubahan iklim.
Perubahan iklim tersebut menyebabkan gelombang panas di Spanyol sehingga dengan suhu ekstrem tersebut mengakibatkan kematian ikan. Sumber lain mengatakan ikan dan udang mati akibat dari polusi dari pertanian lokal telah menurunkan kualitas air danau. Selain ikan dan udang, juga ditemukan kepiting biru dan udang ditemukan mati dipinggir pantai.
Lebih dari 1 dasawarsa, tepatnya pada tahun 2009, Prof. Dr.Kusnoto Supranianondo,MS.,Drh, guru besar FKH Unair, menjelaskan, bahwa pemanasan global yang melanda bumi tidak hanya berdampak pada keseimbangan iklim saja namun juga memberi pengaruh pada ternak.
Menurut laporan dari World Wide Fund, akibat dampak buruk perubahan iklim, burung terancam punah hingga 72%. Tingginya angka ancaman kepunahan pada burung ini bisa mengakibatkan putusnya rantai makanan pada ekosistem hewan sehingga bisa menurunkan produktivitas ternak.
Ketika suhu atmosfer bumi semakin memanas, kondisi fisiologis satwa atau ternak akan terganggu karena sistem pertahanan tubuhnya menurun.
Populasi ternak di Indonesia yang saat ini mengalami perubahan cukup drastis. Ternak ruminansia mengalami penurunan, dari 78% menjadi 42%. Sedangkan untuk ternak non ruminansia mengalami penurunan sebanyak 3%, dari 9% menjadi 6%.
Sumber :
https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-5723957/burung-berjatuhan-usai-hujan-pakar-unpad-early-warning-perubahan-lingkungan.
https://news.detik.com/berita-jawa-barat/d-5730323/jejak-kematian-massal-burung-pipit-di-sukabumi-cirebon.
https://www.harianmassa.id/internasional/pr-27973348/ribuan-ton-ikan-mati-akibat-perubahan-iklim-di-spanyol
https://www.unair.ac.id/kepunahan-hewan-akibat-pemanasan-global-gurubesar_46.html
No comments:
Post a Comment