Pagi ini setelah puas jalan pagi di Teras Malioboro kita putuskan setelah check out dari hotel dan sebelum melakukan perjalanan ke Surabaya, aku mampir dulu ke Klinik Kopi untuk menyeduh kopi yang benar-benar kopi.
Klinik Kopi semakin kebanjiran tamu setelah muncul di film Ada Apa Dengan Cinta 2 (AADC 2).
Pukul 10.30 aku sudah tiba di Klinik Kopi, sebuah cafe di sebuah rumah tumbuh yang eco-friendly, di dalam sudah ada 5 "pasien", sehingga disuruh menunggu sama Firmansyah atau mas Pepeng.
Sekitar pukul 10.45 akhirnya tiba waktu kita, mas Pepeng menyambut kami, setelah bersalaman kita ngobrol sambil melihat Pepeng meracik kopi. Minum kopi di @klinikkopi seperti ngopi bareng konco lawas yang lama ga ketemu, obrolan langsung nyambung, mengalir dan akrab.
Obrolan seperti di warkop dengan teman, mulai dari tema politik, calon presiden, sampai tentang lari marathon setelah mas Pepeng menebak tentang kulitku yang sedang gosong habis event kemarin, yaitu setelah ikut Borobudur Marathon 2022.
Untuk aku sendiri aku diracik secangkir kopi dengan biji Arabica Diima Chelbesa Danche Ethiopia. Sedangkan untuk istriku, aku bilang ke mas Pepeng bahwa dia ga suka kopi, karena jika minum kopi maka akan pusing atau mual.
Mas Pepeng bilang bahwa kopi itu sehat dan tidak membahayakan tubuh, terkecuali 3 organ tubuh, yaitu hidung, mata dan telinga. Kok bisa? Ya, itu kalo kita minumnya ga ke mulut, tapi ke 3 organ tubuh tadi. Ha3x.
Akhirnya untuk istriku, mas Pepeng memilihkan yang paling soft dengan biji kopi Arabica Yellow Caturra Flores yang diseduh dengan tambahan irisan lemon dan es batu. Sehingga rasanya mirip dengan teh. Selain itu, kopi yang masih fresh lebih aman bagi mereka yang memiliki perut sensitif terutama jika dibandingkan dengan kopi sachet.
Sebelum mas Pepeng memindahkan kedai ke rumahnya sendiri di Jalan Kaliurang Km 7,5 gang Bima Sleman, Yogyakarta, pada tahun 2015, dia membuka kedai kopi di bilangan Gejayan pada Juli 2013.
Referensi tentang kopi mas Pepeng mulai berubah saat mencicipi kopi dari luar negeri dimana lidahnya tidak merasakan pahit, hal ini dikarenakan tingkat goreng orang Indonesia terlalu pahit. Sehingga karena pahit lalu dicampur susu dan gula.
Di kedai Klinik Kopi ini, tidak tersedia gula dan susu.
Dan di Klinik Kopi juga dilarang merokok.
Untuk menghilangkan rasa pahit ini, Klinik Kopi berfokus pada biji arabika light roasted yaitu proses penyangraian biji berlangsung tidak terlalu lama, sehingga biji kopi tidak gosong dan rasa pahitnya pun tak terlalu kuat.
Biji kopi light roasted biasanya dihindari oleh kafe lain karena strukturnya yang keras dikhawatirkan dapat merusak grinder (penggiling).
Kopi tanpa narasi maka hanya sekedar kopi hitam, itulah bedanya minum kopi di Klinik Kopi, karena komunikasi selalu dikedepankan dan dipertahankan oleh Pepeng meski jumlah pesanan cangkir kopi kini mencapai 200-300 cup per hari.
Karena keintiman antara penikmat dan penyaji kopi dapat terjalin. Untuk terjadi keintiman tersebut oleh karenanya di kedai ini tidak tersedia buku menu. Jadi untuk memilih menu harus bertanya atau ditanya. Minimal yang ditanya adalah “Suka kopi yang seperti apa?”
Dan di Klinik Kopi, mas Pepeng adalah satu-satunya barista. Sehingga keintiman dan kehangatan tetap terjaga. Dan inilah hakikat dari kedai kopi sesungguhnya, sebagai tempat ngobrol, dengan sang pemilik sekaligus barista sekaligus sang story teller.
Setelah sepasang cangkir disajikan, pukul 11.00 kita membawa cangkir tersebut ke teras dengan ubin warna-warni yang cukup luas untuk nongkrong sambil ditemani gemericik air dari kolam ikan di tepian. Sungguh nikmat, bagi kalian yang ke Yogyakarta pastikan mampir ke Klinik Kopi, dijamin tidak rugi deh.